STUCK

AU|ROMANCE|PG-13|LEE JINKI|KIM JUNGHEE|KIM GWIBOON|759w|
Dia mengingatkanku pada Junghee.

Kuraih ponsel ogah-ogahan, ada pesan masuk yang aku yakin pasti dari teman magang yang juga merupakan teman sepanjang masa yang kumiliki.
From : Lee Joon
Yo man! Jangan lupa lusa jam 2 siang.

“Oh crap!” umpatku pelan sambil menutupi mata dengan salah satu lengan. Aku hampir saja melupakan janji dengan Joon. Magang di salah satu biro iklan ternama benar-benar menguras energiku akhir-akhir ini sehingga jadi sedikit pelupa. Bahkan setelah tadi saat makan siang Joon sudah mengingatkanku pun aku masih dengan mudahnya lupa.
Double date. Aku tahu betul sahabatku itu tidak tahan melihatku selalu terlihat kesepian apalagi saat akhir minggu. Aku sudah terlalu terbiasa melakukan segala hal sendiri termasuk nonton di bioskop, tapi Joon tidak mau mengerti. Mungkin saja karena beberapa tahun belakangan aku selalu bangun dengan lingkaran hitam bak panda disekitar mataku yang dinilainya sudah kelewat batas. Salahkan gadis sialan itu, kenapa dia tiba-tiba saja raib bak ditelan bumi. Entah sudah berapa kali Joon mengajak tapi selalu kutolak. Kali ini aku tak tega menolak karena Joon memintaku dengan wajah memelas. Bahkan setelah aku berkata “Ayolah Joon, jangan tunjukkan wajah seperti itu. Aku tidak akan menciummu meski kau memaksa!” ekspresi wajah Joon tetap tidak berubah. Akhirnya aku mengalah.
“Oke, kali ini saja.” Ucapku final yang disambut dengan senyum super lebar Joon.
Di sinilah aku sekarang setelah dengan berat hati merelakan tidur siang yang berharga di hari Minggu, duduk seperti satpam pribadi Joon dan Hyuna. Gadis yang diceritakan Hyuna belum juga datang dan aku sudah mulai bosan. Mataku hampir terpejam ketika tiba-tiba terdengar langkah tergesa dari belakang.
“Maaf terlambat, aku harus mengantar pesanan ke tempat pelanggan tadi.” Katanya begitu dia duduk di hadapanku. Aku hanya tersenyum sopan sambil mengamati gadis di depanku seksama. Wajahnya terlihat manis dengan rona merah muda di pipinya. Bibir mungil nan tipis yang dipulas dengan warna peach menambah kesegaran yang terpancar darinya. Belum lagi aroma manis vanila yang menguar darinya. Tanpa sadar aku kembali teringat pada sosok yang selalu mengganggu ketentraman malamku beberapa tahun belakangan. Gadis yang tanpa sepatah katapun pergi begitu saja dari hidupku, Kim Junghee.
Namanya Gwiboon, Kim Gwiboon. Seorang mahasiswa fashion design tingkat akhir, satu tingkat di atas Hyuna, yang sedang mulai merintis bisnis fashion kecil-kecilan bersama beberapa temannya. Orangnya menarik, sama seperti Junghee. Sense of fashion-nya juga bagus, tentu saja dia kan mahasiswa fashion design. Sayangnya kehadirannya justru membuatku semakin teringat akan sosok Junghee yang entah kenapa sangat mirip dengan Gwiboon.
Mereka asyik mengobrol bertiga membicarakan banyak hal, sementara aku hanya tersenyum dan menanggapi ala kadarnya. Bukan karena tidak suka pada Gwiboon, tapi semakin melihatnya, semakin mendengar suaranya dia semakin tampak seperti Kim Junghee. Oh kutuklah aku semaumu, tapi semua yang ada padanya membuatku teringat pada Kim Junghee.
“Jinki-ssi, apa yang sedang menarik perhatianmu akhir-akhir ini?” dia tiba-tiba bertanya padaku.
“Musikal, aku suka menonton pertunjukan musikal.” Kujawab sekenanya. Hal terakhir yang kulakukan bersama Junghee, menonton musikal. Dia tersenyum kecil sambil menyelipkan sejumput rambut ikal kemerahannya ke belakang telinga. Ada 3 piercing di telinga kiri dan 2 di kanan. Milik Junghee juga sama, oh crap!
“Aku juga. Oh iya, musikal Zorro sudah mulai lagi sejak minggu lalu. Kau sudah menontonnya? Aku suka sekali Zorro.” Katanya antusias. Zorro, pahlawan bertopeng yang ahli memainkan pedang. Idola Junghee sejak sekolah menengah yang membuatnya mati-matian ingin tampil seperti Catherine Zeta Jones, versi pendek tentu saja lantaran tingginya tak lebih dari 160 cm. Tanpa sadar aku sudah menggumamkan kata belum sebagai jawaban. Kau adalah lelaki jahat, Lee Jinki. Bagaimana bisa kau memikirkan Kim Junghee sementara di hadapanmu ada Kim Gwiboon, gadis nyaris sempurna yang mencoba segala cara untuk bisa lebih mengenalmu?
Hampir satu jam berlalu dan sepertinya aku sudah terlalu kenyang dengan segala kenangan yang melintas begitu saja setiap kali menatap Gwiboon. Maafkan lelaki brengsek ini, Gwiboon-ssi.
Tidak sengaja aku menatap keluar kafe. Di seberang kafe ada toko roti langgananku dan Junghee sejak SD dan aku menangkap sosoknya tengah memasuki toko. Mungkin aku sedang berhalusinasi, tapi jelas itu adalah Kim Junghee. Tubuh mungil yang dibalut dress selutut warna pastel lembut dan cardigan putih serta flat shoes dengan warna senada. Rambut ikal hitamnya tergerai menutup sebagian punggung. Aku yakin itu Junghee meskipun hanya melihatnya dari belakang. Itu pakaian yang sama dengan yang dikenakannya saat terakhir kali kami bertemu tiga tahun lalu sebelum akhirnya dia menghilang.
Aku segera berdiri dan menggumamkan kata maaf dan permisi lalu berlari ke toko roti seberang. Kuabaikan teriakan Joon dan Hyuna yang mencoba menghentikanku. Maafkan aku Joon, aku tahu kau pasti marah tapi simpan saja umpatanmu untukku nanti. Saat ini aku harus memastikan kalau itu benar-benar Kim Junghee agar aku bisa kembali tidur nyenyak nanti malam.

FIN

Sepenggal Cerita #3

Drabble (488 words) | AU | Romance | Fluff | OC CAST : Kim Jonghyun & Choi Reina

Reina duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja. Sudah hampir satu jam dia menunggu di sudut remang kafe favoritnya dan orang yang ditunggunya belum juga datang. Iya memang salahnya datang satu jam lebih awal padahal dia tahu benar lelaki itu tidak pernah datang tepat waktu. Cangkir kopi di hadapannya sudah hampir kosong dan dia terlalu malu untuk minta diisi ulang lantaran tadi sudah tiga kali memintanya. Entah kenapa hari ini dia begitu gugup. Tidak biasanya begini. Oh ayolah, ini bukan pertama kalinya dia berkencan. Lelaki yang ditunggunya juga bukan baru-baru ini dikenalnya, mereka sudah berkencan lebih dari dua tahun. Gadis itu menggigiti kukunya, kebiasaan buruknya selalu muncul di saat seperti ini. “Ini menggelikan.” keluhnya pelan. Dengan hati-hati dibukanya tas di pangkuan. Benda mungil itu masih diam dengan manisnya di dalam membuat Reina semakin gugup melihatnya. “Hey Rei!” Panggilan yang sangat familiar itu langsung membuat wajah Reina terasa panas. “Sialan.” rutuk Reina dalam hati. Biasanya dia tidak pernah seperti ini, gara-gara benda mungil itu dia jadi super gugup. “Ini baru jam enam lewat lima puluh lima menit, aku belum telat kan?” ujar lelaki itu setelah duduk tepat di hadapan Reina. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Jonghyun, nama lelaki itu, menatap lekat gadisnya sebelum memanggil pelayan dan memesan strawberry smoothies sementara Reina memesan mango juice. “Sudah habis berapa cangkir?” tanya Jonghyun sambil menunjuk cangkir kopi yang sudah kembali diisi. “Jangan terlalu banyak minum kopi, kasihan lambungmu.” lanjut lelaki itu yang kemudian menyambar cangkir kopi Reina dan meminumnya. Si gadis mendengus kesal. “Aku kemarin iseng mampir di kafe baru dekat tempat kerjamu, tempatnya asik. Kapan-kapan makan di sana yuk.” “Hemm, oke.” sahut Reina singkat tanpa menatap Jonghyun. Alis Jonghyun terangkat sebelah. Reina tampak sedikit berbeda hari ini, jadi lebih pendiam dan entah kenapa selalu menghindar saat bertemu mata dengannya. “Kamu kenapa sih?” tanyanya kemudian. Reina menatapnya bingung. Belum sempat menjawab, konsentrasinya terganggu dengan datangnya pelayan kafe yang mengantarkan pesanan mereka. Reina menghela nafas untuk menghilangkan gugupnya. “Itu…emm…” terbata Reina mencoba memberi penjelasan. “Kamu jangan ketawa ya, aku lagi ingin serius.” ujarnya lirih. Jonghyun mengangguk dengan kening berkerut, tumben sekali Reina tidak cerewet. Lagi-lagi gadis itu menghela nafas. “Aku mungkin gadis yang ceroboh, kekanakan, dan egois. Tapi aku sedang berproses untuk jadi orang yang lebih baik.” kata Reina tanpa jeda. Jonghyun hanya mengangguk menanggapi dan sesekali menyeruput smoothies-nya. “Dalam proses ini, aku butuh orang yang bisa mendampingi dan menuntunku.” lanjutnya sambil mengeluarkan benda mungil dari tasnya yang sedari tadi membuatnya gugup. Jonghyun terbelalak melihat benda yang disodorkan Reina padanya. Dia semakin terpana melihat sepasang cincin black titanium di dalam kotak mungil itu. “Kim Jonghyun, maukah kamu jadi pendamping hidup Choi Reina yang ceroboh, kekanakan dan egois ini?” akhirnya terucap juga. Wajah Reina merah bukan kepalang, tapi tetap ditegakkannya kepala untuk menatap lelaki di depannya. Senyum Jonghyun terkembang kemudian diacaknya puncak kepala Reina penuh sayang. Reina tahu, ini artinya “Ya.” lamarannya diterima. Dia kemudian tersenyum lebar. “Gadis nakal! Siapa yang mengajarimu melamar laki-laki seperti ini?”

Heart-Bet

Romance|Shin Yunhwa (OC), Choi Minho|Oneshot|G|

Summary : Awalnya ini semua taruhan, tapi semakin aku mengenalmu, hatiku ikut berubah dan akhirnya aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta padamu.
A/N : ‘Hati bukan sesuatu yang bisa dipertaruhkan dan diukur dengan sejumlah uang’ – Jung Hyujin, Heart-Bet quote.

Tidak, bukan begitu…

Tolong jangan pergi…

Kumohon jangan membenciku…

Jangan….

Yunhwa terjaga dari tidurnya. Mimpinya sungguh membuatnya tersiksa malam ini. Keringat membanjiri bukan hanya wajah cantiknya yang kini berubah pucat, tapi juga seluruh tubuhnya. Gadis itu memejamkan matanya sambil menyeka keringatnya yang bercucuran. Mimpi itu terasa sangat nyata baginya. Semuanya memang harus segera berakhir bagi hubungannya dengan Minho. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan, dari awal hubungan ini memang salah. Menyadari akan hal itu, Yunhwa tak mampu membendung air matanya. Pikirannya kembali menerawang ketika dia meminta Minho menjadi pacarnya. Awalnya ini hanya taruhan antara dirinya dan Han Serri, siapa yang bisa menjadi pacar Minho akan mendapat uang sebanyak seratus lima puluh ribu Won. Nilai itu lumayan fantastis untuk sekedar taruhan anak SMA. Dan Yunhwa berhasil memenangkan taruhan, Minho langsung mengiyakan ajakannya berkencan saat itu. Yunhwa kembali terisak pelan, ternyata waktu tiga bulan telah membuatnya benar-benar jatuh cinta pada lelaki yang usianya hampir satu tahun lebih muda darinya itu. Banyak hal dan kenangan yang telah mereka lalui bersama selama tiga bulan terakhir ini, sanggupkah dia tiba-tiba kehilangan semuanya? Sanggupkah dia kehilangan lelaki yang mulai dicintainya itu? Sanggupkah dia mengubur semua kenangan bersama lelaki itu?

Yunhwa akhirnya kembali tertidur setelah lelah menangis. Wajahnya pucat dan air matanya terus mengalir meski matanya telah terpejam, ternyata rasa bersalahnya membuat pikiran gadis itu tertekan. Tapi dia tak punya pilihan lain, dia harus berterus terang pada Minho, agar semuanya bisa kembali berjalan sebagaimana mestinya seperti semula. Ketika jam weker di samping tempat tidur Yunhwa menjerit mencoba membangunkan penghuni kamar tersebut, Yunhwa buru-buru menekan tombol off dan segera melompat dari tempat tidurnya untuk bersiap ke sekolah. Hari ini adalah batas akhir untuknya bisa bersama dengan Minho. Setelah Yunhwa mengatakan semuanya, dia yakin Minho tak akan mau lagi bersamanya, bahkan mungkin membencinya. Membayangkan kenyataan seperti itu saja sudah membuatnya terluka, bagaimana jika dia harus menghadapinya seorang diri? Sanggupkah dia?

“’Aku hanya menjadikanmu sebagai taruhan, daripada semakin menyakitkan kalau kita terus bersama, ayo kita putus’. Yunhwa, kamu bisa mengatakan itu.” Yunhwa menatap dirinya di cermin sambil mencoba merangkai kata yang tepat untuk mengakhiri hubungannya dengan Minho. Berkali-kali dia meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja, tapi hal itu justru membuatnya semakin takut menghadapi kenyataan yang akan diterimanya nanti. Dengan langkah gontai Yunhwa berjalan meninggalkan kamarnya.

Seharian di sekolah membuat Yunhwa merasa gelisah. Dia takut akan bertemu tiba-tiba dengan Minho, dia masih belum menyiapkan hatinya untuk benar-benar mengucapkan kata putus. Ternyata lelaki itu benar-benar telah menjerat hatinya, membuatnya jatuh dalam pesonanya dan tanpa disadarinya dia telah jatuh cinta pada lelaki itu. Untung saja hari ini pelajaran olahraga selama dua jam tidak dipotong oleh jam istirahat pertama, jadi dia bisa menghindari Minho, tapi tak ada jaminan nanti istirahat kedua dia bisa menghindar lagi.

“ Ya! Shin Yunhwa, ini hari terakhirmu. Kalau kau belum juga mengakhiri hubunganmu dan Choi Minho, kami yang akan membuatnya berakhir!” Kata Han Serri ketika mereka bertemu di toilet. Yunhwa hanya tersenyum mengejek, dia tahu betul bahwa Serri sangat menginginkan Minho dan itu membuatnya menjadi semakin ingin menggoda gadis itu.

“Coba saja kalau kau bisa.” Balas Yunhwa sambil berjalan meninggalkan gerombolan gadis yang sedang cemburu itu. Gadis itu kembali ke dalam kelasnya, sebenarnya dia sedang merasa tidak enak badan, tetapi melihat reaksi dari Han Serri benar-benar menghiburnya. Yunhwa tahu kalau Serri tidak pernah main-main dengan apa yang dia ucapkan, tapi entah bagaimana gadis itu masih tetap tenang menghadapinya. Tak terasa bel tanda istirahat ke dua berdering. Yunhwa yang telah kehilangan selera makannya terduduk lemas di kursinya.

“Yunhwa-ya, kamu tidak ke kantin? Bukankah kamu biasanya paling semangat lari ke kantin tiap istirahat?” Tanya Hyujin, teman sebangkunya.

“Males ah, aku masih kenyang. Kalau kamu nanti bertemu Minho, bilang saja kamu tidak tahu aku ada di mana. Oke?” Yunhwa menyahut dengan tidak bersemangat. Dia merasa tenaganya menghilang tiba-tiba, bahkan kepalanya terasa semakin berat dan pandangannya mulai kabur. Setelah dilihatnya Hyujin mengangguk, Yunhwa kemudian bangkit dari kursinya. Dengan langkah berat dia berusaha menuju UKS yang letaknya hanya lima ruang kelas dari kelasnya itu.

“Mau ke mana?” Hyujin menoleh ketika di dengarnya suara langkah dan nafas berat Yunhwa di belakangnya. Mata Hyujin kemudian membulat seketika ketika didapatinya sahabatnya itu pingsan tiba-tiba.

“Yunhwa-ya ireona, ya Shin Yunhwa ireona.” Hyujin panik dan menepuk-nepuk pipi Yunhwa sementara beberapa siswa lain kemudian mengerumuni Hyujin yang sedang berusaha membangunkan Yunhwa. Akhirnya dengan dibantu beberapa siswa laki-laki Hyujin membawa Yunhwa ke UKS. Entah mendengar dari siapa, Minho tiba-tiba sudah berada di UKS ketika Hyujin dan petugas kesehatan selesai memberikan pertolongan pertama. Melihat kedatangan Minho, Hyujin dan petugas kesehatan yang juga siswa kelas XII itu meninggalkan UKS. Sebelum pergi, Hyujin sempat menepuk bahu Minho dan menitipkan sahabatnya itu.

Hyujin bukannya tidak tahu, tapi dia memilih untuk tidak mencampuri urusan pribadi sahabatnya. “Kupikir kamu akan langsung memutuskan hubunganmu dengan Choi Minho setelah mendapatkan uang itu. Ternyata kamu masih betah jalan dengannya. Jangan katakan kalau kamu jatuh cinta padanya?” tanya Hyujin beberapa hari yang lalu. Yunhwa hanya tersenyum simpul dan mengangguk. Hyujin mendesah melihat jawaban Yunhwa. “Sebelum dia tahu dari orang lain, lebih baik kalau dia tahu dari kamu sendiri soal taruhan itu. Dari awal hubungan kalian itu salah, kalau sampai dia tahu dari orang lain, dia akan lebih terluka.”

“Aku bingung Hyujin-ah. Aku takut nantinya dia akan menjauh dariku setelah mengetahui tentang taruhan itu. Aku…aku mulai menyukainya.” Yunhwa tak berani menatap wajah sahabatnya ketika mengatakan hal itu.

“Justru karena sayang makanya kamu harus jujur padanya. Kamu mau membohongi dia selamanya? Tidak kan?” Hyujin menyahut tajam. Sejak awal Hyujin tidak setuju Yunhwa mengikuti taruhan konyol itu. Hati bukan sesuatu yang bisa dipertaruhkan dan diukur dengan sejumlah uang. Maka dari itu ketika Yunhwa tak juga memberitahu kenyataan yang sebenarnya pada Minho, gadis itu marah dan tentu saja kecewa.

“Aku tahu, tapi tidak semudah itu. Kamu tidak akan mengerti bagimana rasanya. Posisiku sekarang benar-benar sulit.” Yunhwa masih mengelak.

“Terus mau sampai kapan kamu diam? Sampai ada orang lain yang memberi tahu dia lebih dulu? Iya?” kembali Hyujin menusuk Yunhwa dengan pertanyaan tajamnya.

Yunhwa hanya diam dan mengeluh dalam hati. Jika saja bukan sahabatnya, tentu gadis itu sudah mencak-mencak ditanyai seperti itu. Ingin sekali gadis itu mengatakan bahwa dia juga tidak ingin terus menerus membohongi Minho, tapi tidak mudah baginya untuk bisa mengatakan yang sebenarnya terlebih kini hatinya sudah mulai berubah warna bagi lelaki itu.
Minho perlahan masuk ke ruang perawatan UKS, dihampirinya Yunhwa yang tampak tertidur. Laki-laki itu mengeluh pelan dalam hati, “Noona, apa yang kamu pikirkan sampai jadi seperti ini?”. Dengan hati-hati Minho duduk di pinggiran tempat tidur dan menggenggam tangan Yunhwa. Minho sebenarnya tahu dari awal jika Yunhwa hanya menjadikannya sebagai taruhan, tapi dia diam saja. Jangan tanyakan darimana dia mengetahuinya karena predikat Yunhwa sebagai ratu taruhan sudah melegenda di sekolah itu. Apapun akan Yunhwa lakukan selama masih masuk akal untuk memenangkan taruhan, terlebih lagi jika Han Serri, si gadis yang selalu mendapat apa yang dia mau, yang menantangnya. Tapi Minho tidak peduli dengan itu semua, dia rela melakukan apa saja asalkan bisa bersama dengan gadis itu. Gadis yang diam-diam disukainya sejak pertama kali melihatnya di hari pertama pindah ke sekolah ini. Laki-laki itu tertegun ketika dilihatnya air mata mengalir pelan dari sudut mata Yunhwa yang terpejam.

Yunhwa masih terpejam, matanya bergerak gelisah dan sesekali dia menggumam. Dia tahu ada seseorang yang tengah menggengam tangannya, tapi matanya entah kenapa tidak mau terbuka.

“Eughh…Hyujin-ah…” Panggil Yunhwa pelan sambil menggoyangkan tangannya yang sedang digenggam Minho. Laki-laki itu diam, tangannya yang bebas kini menyeka air mata Yunhwa yang masih terus luruh.

“Hyujin…” gumam gadis itu lagi. Minho mengusap punggung tangan Yunhwa yang digenggamnya dengan ibu jari. Jemarinya yang tadi menghapus air mata gadis itu kini berganti membelai pipi gadisnya perlahan.

“Ini aku, Minho.”

Yunhwa masih belum bereaksi, sekali lagi Minho membisikan namanya ditelinga gadis itu, “Noona, ini aku. Choi Minho.”
Perlahan mata gadis itu terbuka, Minho menyambut tatapan Yunhwa dengan senyumnya yang selalu membuat gadis itu salah tingkah.

“Kamu… apa yang kamu lakukan di sini?” suara Yunhwa terdengar parau.

Minho tidak menjawab, dia hanya mengangsurkan segelas teh hangat yang tersedia di meja kecil di sebelah tempat tidur. Yunhwa berusaha bangkit, tapi gagal karena tubuhnya terlalu lemah. Akhirnya Minho membantunya untuk duduk dan kemudian mengangsurkan teh hangat untuk Yunhwa.

“Kamu bandel sih, sudah berapa kali aku mengingatkanmu agar jangan sampai telat makan? Ini yang aku takutkan.” Minho mengomel pelan sambil memijit tangan kanan Yunhwa. “Kalau sudah begini, kamu sendiri kan yang rugi?” lanjut Minho. Yunhwa diam, dia tak bisa membantah omelan Minho karena memang benar apa yang dikatakan laki-laki itu. Sejak tadi malam memang belum ada makanan apapun yang masuk ke perutnya. Nafsu makannya hilang seketika tatkala ingat bahwa hari ini semua akan berakhir. Yunhwa mengeluh pelan dalam hati, ‘Tolong jangan terlalu perhatian sama aku, karena aku akan semakin berat melepasmu.’

“Lain kali jangan bikin aku khawatir lagi ya?” Minho tersenyum sambil mengacak pelan rambut Yunhwa sementara gadis itu semakin merutuki jantungnya yang kembali berdetak melebihi kecepatan normalnya.

Suasana kembali hening, keduanya sama-sama diam tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Sesekali Minho menggoyangkan tangan Yunhwa yang tengah digenggamnya. Tangan gadis itu begitu dingin dan kuku-kuku jarinya yang biasanya berwarna merah muda alami itu kini terlihat pucat.

“Minho-ya…” “Noona…” ucap keduanya bersamaan.

“Kamu duluan.” Lagi-lagi bersamaan.

“Kalau begitu aku duluan saja.” Sahut Yunhwa. Gadis itu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya lelaki yang masih menggenggam tangannya itu tepat di manik mata.

“Mungkin nanti setelah kamu mendengar apa yang aku katakan, kamu akan membenciku. Tapi aku harus mengatakannya sekarang.” Yunhwa diam sejenak untuk kembali mengatur emosinya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebelum orang lain yang memberitahu, aku ingin menjadi orang pertama yang mengatakan ini padamu. Maaf, dari awal aku tidak jujur mengenai hubungan ini. Awalnya aku mendekatimu kamu hanya untuk memenangkan taruhan, dan yah, aku menang karena kamu mau jadi pacarku waktu aku nembak kamu. Awalnya aku memang tidak memiliki perasaan apapun padamu, tapi makin sering kita bersama, semakin aku mengenalmu, hatiku ikut berubah. Perlahan-lahan, aku mulai menyayangimu. Sampai akhirnya aku sadar kalau aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu.” Yunhwa kembali diam dan menghela napasnya berat. Tangan kirinya kiri menghapus air mata yang kembali mengalir pelan dari kedua matanya. Minho masih diam, dia tak tahu harus berkata apa. Dia sama sekali tak pernah menyangka bahwa Yunhwa akan mengatakan semuanya segamblang ini.

“Tapi aku sadar bahwa aku tidak boleh egois. Kamu berhak tahu kenyataan yang membuat kita akhirnya bersama. Aku sebenarnya tidak ingin semuanya berakhir secepat ini, tapi aku juga tidak memiliki alasan untuk tetap menahan kamu di sisiku setelah kamu mengetahui semuanya. Meskipun berat, aku siap untuk melepasmu.” Yunhwa kemudian berusaha menarik tangannya dari genggaman Minho, tapi laki-laki itu malah semakin erat menggenggam tangannya.

“Bodoh. Aku menerima kamu karena dari awal aku menyukaimu. Aku juga tahu kalau awalnya kamu hanya menjadikanku sebagai taruhan, tapi aku diam saja karena aku tidak mau kehilangan kamu noona. Aku tulus menyayangimu, sungguh. Sudah, jangan menangis lagi.” Minho kemudian menghapus air mata Yunhwa yang masih mengalir pelan.

“Jadi?” tanya Yunhwa dengan suara serak dan sengau.

“Jadi apanya?” Minho balik bertanya.

“Kita bagimana?”

“Bagimana apanya? Kita ya begini saja. Jalanin apa yang ada sekarang, jangan memikirkan yang aneh-aneh lagi.” Sahut Minho.

Mereka saling berpandangan dan kemudian tersenyum. Yunhwa merasa lega, ketakutannya ternyata tidak menjadi kenyataan. Minho akan tetap ada di sisinya, berjalan bersamanya sampai entah kapan.

“Minho-ya…” panggil Yunhwa pelan sambil menggoyangkan tangannya yang digenggam oleh Minho.

“Hmm?” Laki-laki itu kemudian menjawab dengan gumaman.

“Aku lapar.”

Fin