Finally, I Found My Love

Finally, I Found My Love

Lanjutan dari Someone Like You

Dua tahun sudah aku berada di kota ini, berarti dua tahun pula aku mengenal Rizal. Saat kuingat lagi bagaimana pertemuan pertama kami waktu itu rasanya sungguh lucu. Jujur saja, aku terpesona melihat senyumnya. Senyumnya begitu hangat dan menentramkan hati. Dia orang pertama yang mampu membuatku melupakan luka hati. Dia yang mampu memberiku tawa dari hari ke hari. Dia pula yang mendampingiku untuk menghadapi klien yang sulit dan banyak maunya. Tanpa dia mungkin aku sudah menyerah untuk meneruskan pekerjaan ini.

Banyak karyawan yang mengira aku dan Rizal ada hubungan khusus, tapi sampai saai ini hubunganku dan dia hanya sebatas rekan kerja. Aku nyaman berada disampingnya. Rasanya seperti ada yang melindungiku, apalagi sekarang aku berada di kota asing sendirian tanpa teman dan keluarga. Hanya dia yang menjadi tempatku berkeluh selama di Surabaya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana anggapannya tentangku. Dia tak pernah menanyakan masalah pribadi. Itu yang membuatku semakin nyaman bersamanya.

Setelah sekian lama kami bersama, ada yang berbeda yang kurasakan ketika bersama dengannya. Mungkin benar kata orang, tawa adalah jalan lapang menuju hati dan hati itu mudah berubah. Kini hatiku selalu terasa hangat ketika bersamanya. Tanpa sadar aku mulai membuka diri padanya, meskipun luka hati tetap belum bisa pulih seutuhnya.

Laki-laki itu entah kenapa sanggup membuatku tersenyum hanya dengan melihat wajahnya. Kadang tatapan tajam matanya juga membuatku berdebar. Apakah dia orang yang mampu menggantikan Bayu mengisi setiap sudut di hatiku? Status, ya, sampai sekarang status hubungan kami masih tidak jelas. Selalu pergi bersama, makan bersama, pulang kerja bersama, bahkan kadang aku menginap di Apartemennya kalau ada beberapa laporan yang harus kami selesaikan sementara waktu yang kami miliki terbatas. Selama itu pula aku tak pernah melihatnya berkencan dengan gadis lain atau menelepon perempuan selain ibu dan kakaknya. Lalu disebut apa hubungan kami ini? Hubungan tanpa status? Atau teman tapi mesra?

Siang itu setelah selesai meeting dengan biro iklan, aku ingin mampir sebentar ke Tunjungan Plaza untuk makan siang dan belanja keperluan sehari-hari. Iya, aku masih jadi anak kost. Semua kebutuhan hidup masih harus kupenuhi dan kusiapkan sendiri. Rizal biasanya akan mengikuti kemana aku pergi seharian jika tak ada pekerjaan lainnya yang mendesak, tapi aneh, kali ini dia seakan menghindar. Wow, ada apa gerangan?

Aku memasuki bagian sayur dan bauh di supermarket dalam Tunjungan Plaza. Dengan cepat kupilih sayur dan buah serta beberapa bumbu dapur yang kuperlukan, setelah itu aku beranjak ke bagian makanan kering dan kembali mengambil barang yang kubutuhkan dengan cepat dan segera ke kasir untuk membayar. Iya, aku harus cepat-cepat, soalnya cacing di perutku sudah mulai orasi minta makan.

“Akhirnya kenyang juga…”bisikku pelan sambil mengelus pelan perutku.

Kurapikan kantung belanjaku sebelum beranjak dari food court. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok lelaki yang sangat familiar buatku. Dia sedang bersama beberapa orang yang tidak kukenal dan salah satunya adalah seorang gadis manis berambut ikal yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Penuh cinta? Ha! Yang benar saja. Melihat hal itu aku langsung merasa cemburu. Aku, cemburu? Apa masih wajar seorang wanita berumur hampir 30tahun merasa cemburu seperti ini?

Aku buru-buru meninggalkan Tunjungan Plaza dengan perasaan bercampur aduk. Kesal, marah dan merasa dikhianati. Ku stop taksi pertama yang melintas dan langsung ke kosanku. Begitu masuk ke kamar kos, langsung kurebahkan diri dikasurku. Kupejamkan mata sejenak mengingat apa yang kulihat di food court tadi. Rizal memandang gadis itu dengan tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Apakah gadis itu adalah kekasihnya? Lalu bagaimana denganku? Apakah kedekatan kami selama ini tidak berarti baginya? Mengapa seolah dia memberiku harapan? Apakah aku boleh cemburu? Apakah aku masih boleh berharap? Ah, aku ingat sekarang, mungkin saja orang-orang tadi adalah teman-temannya semasa SMA. Dia kan pernah sekolah di Surabaya selama 2tahun sebelum akhirnya orangtuanya menetap di Solo. Dan mungkin saja gadis itu adalah pacarnya waktu SMA. Memikirkan berbagai kemungkinan itu membuatku sakit kepala.

Pagi ini aku ke kantor dengan hati gundah. Aku harus bersikap bagaimana jika nanti bertemu dengan Rizal? Sepanjang perjalanan aku hanya melamun. Untung saja aku naik taksi, mobilku masih dibengkel gara-gara disenggol becak, jadi tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Akhirnya setelah 20menit perjalanan, aku sampai dikantor. Aku segera berjalan memasuki ruanganku sambil memberi salam pada beberapa bawahanku yang kutemui dilorong. Beruntung, aku tak bertemu dengan Rizal. Harus bicara apa ketika nanti bertemu? Baru saja aku duduk dan membaca beberapa surat yang ada dimeja, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruanganku.

“Masuk.”perintahku.

“Hai, Rin. Sibuk? Bisa bicara sebentar?”

Oh Tuhan, itu suara Rizal. Ku dongakkan kepalaku melihatnya. Aku masih terdiam. Aku memang tidak sibuk, tapi aku juga sedang malas bertemu dengannya setelah melihatnya saling tatap dengan gadis rambut ikal kemarin.

“Hmm?? Sibuk ya?”tanyanya lagi.

“Eumm, tidak terlalu sibuk sebenarnya. Okay, mau bicara apa? Kalau masalah pekerjaan, silahkan bicara sekarang, tapi kalau bukan, nanti siang saja waktu istirahat.”jawabku.

“Kalau begitu nanti siang saja. Lunch bareng ya. Aku jemput kamu nanti.”sahutnya.

“Hmm..baiklah. sampai nanti siang.”

“Sampai nanti…aku lanjut kerja dulu.”

Apa yang mau dia bicarakan? Aku jadi penasaran. Apa dia akan membicarakan masalah mengenai gadis yang kemarin atau apa? Hahh..dugaan-dugaan ini membuatku gila.

Akhirnya jam makan siang tiba juga. Aku baru saja selesai mengirim email balasan untuk Fitri dan Astrid saat Rizal masuk ke ruanganku.

“Sudah, ayo pergi sekarang. Simpan dulu kerjaanmu itu.”kata Rizal

“Iya, iya..bawel banget sih.”sahutku

Aku meraih tasku dan menyambar ponselku diatas meja kemudian berdiri dan berjalan mendekatinya.

“Apa yang mau dibicarakan?”tanyaku.

“Nanti saja, di sini terlalu banyak telinga yang penasaran.”sahutnya.

Kami lalu pergi berdua menuju sebuah kafe yang tak jauh dari kantor. Kantor dan restoran memang berada di tempat yang terpisah agar tidak menggangu operasional restoran.

“Oke, mau bicara apa?”tanyaku setelah selesai memesan makanan.

“Eum, gimana ya mulainya. ”jawab Rizal. “Ini soal kita. Tentang kejelasan hubungan kita.”

Aku terdiam sejenak, “Kejelasan? Bukankan sudah sangat jelas Zal. Kita adalah rekan kerja. Kamu adalah asistenku. Kurang jelas apalagi?”tanyaku retorik.

Rizal hanya diam, dari sorot matanya terlihat bahwa dia terkejut mendengar jawabanku. Entahlah, aku tak bisa membaca hatinya. Aku tak ingin berharap lebih darinya setelah kemarin aku melihatnya tersenyum mesra kepada gadis yang tak kukenal.

“Bukan yang itu Rin, tapi yang lain. Tentang..tentang kita.”ucapnya sekali lagi. “Aku berharap kita bisa memulai suatu hubungan yang lebih dari sekedar rekan kerja Rin. Hubungan antara lelaki dewasa dengan wanita dewasa.”

Aku terdiam mendengar ucapannya barusan. Berharap telingaku tidak salah dalam menyampaikan getaran suara itu ke otak, berharap bahwa aku tidak sedang berilusi. “Hubungan seperti apa maksudmu? Menurutmu selama ini hubungan kita tidak seperti hubungan antara lelaki dewasa dengan perempuan dewasa? Bukankah hubungan kerja ini juga merupakan hubungan yang terjadi antara dua orang dewasa?”tanyaku kemudian.

Rizal diam mendengar jawabanku, melalui matanya aku bisa membaca bahwa dia kecewa mendenar jawabanku. Kami larut dalam diam, asik bergulat dengan pikiran masing-masing. Aku masih sibuk mencerna permintaannya, dan dia entahlah, aku tak bisa membaca pikiran laki-laki itu. Lama-lama aku jengah dengan situasi seperti ini. Aku menghela nafas panjang sebelum bertanya padanya.

“Sebenarnya hubungan seperti apa yang kamu inginkan Zal? Bukankah apa yang sudah kita jalani bersama selama ini cukup?”

Rizal masih diam, dia kemudian menatap mataku dengan sorot tajam. Tangannya kini meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Aku ingin kamu jadi pacarku Rin, aku tidak peduli masalah umur, status sosial atau apapun selama aku bisa bersamamu. Tidak bisakah kamu melihatnya Rin?”kata Rizal sambil terus menatap mataku tajam. Manik matanya yang hitam pekat itu menghujam lurus ke mataku. Aku tidak menemukan kebohongan didalam matanya, tapi aku masih ragu. Umurku lebih tua 2 tahun darinya, apakah dia yakin tidak akan menyesal nantinya. Diluar sana masih banyak gadis yang lebih muda yang lebih menarik berlomba untuk menjadi kekasihnya, mengapa dia memilihku? Dalam benakku kini menari banyak sekali pertanyaan yang ingin keluar, tapi tak ada satupun kata yang terucap. Aku terlalu bingung dengan semua ini. Bukankah dia kemarin bersama dengan gadis berambut ikal itu? Bukankah mereka kemarin saling memandang dengan hangat? Mengapa justru kini dia berucap seperti itu?

Rizal masih diam menunggu jawabanku sementara aku masih larut dalam pikiranku sendiri. Sebenarnya ini yang kuinginkan, tapi setelah aku melihatnya bersama gadis berambut ikal itu, aku merasa bahwa aku bukan satu-satunya wanita dihatinya. Aku merasa bahwa bukan hanya aku yang memiliki cintanya. Itu semua membuatku ragu untuk mengiyakan permintaannya barusan. Bukan karena aku tidak mencintainya, tapi lebih kepada keraguanku sendiri.

“Rin, tolong jangan diam saja. Aku tidak mengerti arti diammu yang seperti itu. Katakanlah sesuatu, tapi jangan katakan kau menolakku.”

“Aku bingung Zal, aku ga meragukan cintamu, tapi aku masih ragu pada diriku sendiri. Aku masih ragu apakah yang selama ini kurasakan benar-benar nyata atau hanya perasaan sesaat. Aku ga mau terjebak cinta yang dangkal, hanya karena kesepian dan kebetulan kamu masuk dalam hidupku. Aku masih butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri Zal.”

Rizal mengeluh pelan mendengar jawabanku. Dia tak mengatakan apapun lagi. Kami terdiam, dan dalam diam seperti ini aku malah merasa hatiku semakin jauh darinya. Entahlah, bukankah kemarin-kemarin ini yang selalu kutunggu untuk dia ucapkan?tapi mengapa saat dia mengatakannya aku malah ragu dengan diriku sendiri?

“Okelah, aku tau kalau kamu mingkin masih ragu, tapi kumohon, jangan terlalu lama menggantung jawabanmu. Aku yakin tiga hari cukup untuk meyakinkan hatimu untuk menjawab permintaanku barusan.”ucapnya kemudian sambil tersenyum. Ah, senyum itu, aku tak pernah bisa menolak senyum itu. Akhirnya kuanggukan kepalaku tanda setuju. Dia kembali tersenyum dan melepas genggaman tangannya.

“Makasih udah mau ngasih aku waktu. Aku pasti akan jawab secepatnya.”kataku akhirnya.

“Yaudah, sekarang lanjut makan aja, jam makan siang bentar lagi habis kan?”sahutnya.

Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku. Kami melanjutkan makan siang kami sambil membicarakan perkembangan restoran. Membicarakan rencana pembukaan cabang baru di kota Malang dan lain sebagainya. Setelah itu kami baru kembali ke kantor.

Malam hari ketika jam pulang kantor tiba, dia kembali ke ruanganku mengajakku untuk pulang bersama, tapi kutolak, aku masih butuh waktu sendiri untuk meyakinkan hatiku. Aku yakin dia mengajakku untuk pulang bersama agar bisa mendesakku agar memberikan jawaban secepatnya. Untuk hari ini cukup Zal, aku ingin sendiri dulu. Mendengar jawabanku dia lalu tersenyum pasrah. Aku lalu menelepon taksi untuk menjemputku.

Setibanya di kosan, aku langsung merebahkan diri di kasurku. Memutar sejenak memori perkenalanku dengan Rizal dan awal kisah kami berdua sampai menjadi seperti sekarang. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama, kesulitan dalam merintis bisnis kuliner di kota yang baru dan segala masalah dalam mengurus pekerjaan ini dan itu. Segala hal tersebut perlahan telah membuat kami menjadi semakin dekat, tapi apakah semuanya harus berakhir pada hubungan seperti ini? Aku memang menginginkannya menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupku, tapi apakah aku juga bisa menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya? Ini yang masih membuatku ragu. Ragu akan keseriusannya, ragu akan keteguhan hatinya, ragu akan diriku juga sebenarnya. Apakah aku sungguh mencintainya ataukah hanya perasaan sesaat saja?semuanya berputar-putar di otakku yang kecil ini. Aku hanya punya waktu tiga hari untuk menjawabnya. Apakah cukup?

Tiga hari ini kuputuskan untuk cuti, aku butuh waktu sendiri tanpa bertemu dengan Rizal untuk memastikan bahwa aku memang membutuhkan lelaki itu untuk mendampingiku, untuk membuatku utuh. Aku memutuskan untuk liburan sejenak ke luar kota. Mencari udara segar di pegunungan. Iya, aku pergi ke Malang untuk mencari udara yang lebih fresh sambil menenangkan diri dan mencari jawaban atas permintaan Rizal tempo hari. Aku benar-benar ingin sendirian, tanpa diganggu oleh pekerjaan dan tentunya oleh orang yang membuatku harus sejenak melarikan diri. Telepon dan SMS dari Rizal tak pernah ku jwab, bahkan email darinyapun kuabaikan. Aku benar-benar ingin menguji diriku. Seberapa pentingnya Rizal untukku dan seberapa kehilangannya dia tanpa diriku.

Tiga hari di Malang benar-benar membuatku semakin yakin, aku membutuhkan lelaki itu. Membutuhkannya untuk membuatku merasa utuh. Tiga hari ini aku benar-benar merasa bahwa tanpa hadirnya Rizal,sebagian dari diriku terasa menghilang. Aku merasa tidak lengkap. Aku merindukan senyumnya, tawanya yang hangat dan pelukannya yang menenangkan. Ternyata lelaki itu telah berhasil membuatku bergantung padanya. Aku telah menemukan keyakinan untuk memulai sesuatu yang baru dengannya. Zal, tunggu aku sebentar lagi. Akan kujawab permintaanmu tempo hari dengan sebulat hatiku. Aku mencintaimu Zal.

Kulangkahkan kakiku perlahan menuju apartemen Rizal. Aku ingin memberinya kejutan. Aku sudah yakin akan jawabanku, aku sudah yakin akan hatiku. Kini aku tinggal memberinya jawaban dan memulai segalanya dari awal bersama. Senyum masih saja menghiasi wajahku ketika kulangkahkan kakiku yang sudah mendekati apartemennya. Tinggal belok kanan, ruang nomor 427. Itu adalah nomor apartemennya. Namun apa yang kulihat setelah berbelok sungguh membuatku seperti tersambar petir. Di depan pintu apartemennya Rizal tengah berpelukan dengan seorang gadis. Gadis beambut ikal itu.

Aku hanya bisa terpaku melihatnya. Teganya dia melakukan ini. Kalau memang bukan hanya aku yang memiliki hatinya, kenapa dia harus memintaku ntuk jadi pacarnya? Aku sudah terlanjur mencintainya sekarang, bukankah rasanya menyakitkan mengetahui bahwa orang yang kita cintai ternyata mendua hati? Aku berbalik dan melangkah pergi dari situ. Kutahan air mataku agar tidak tumpah sekarang. Tiba-tiba ada yang menarikku dari belakang. Dengan paksa orang itu menarik tubuhku menghadap padanya. Rizal, ya orang itu Rizal. Aku hanya diam, kutahan emosiku agar tidak meledak di sini.

“Bukankah ini waktunya kamu menjawab permintaanku tempo hari Rin? Kenapa kamu malah lari?”tanyanya.

Aku masih diam, masih tidak ingin berkata-kata, takut nantinya ketika aku membuka mulut malah hanya akan membuatku tampak menyedihkan. Aku diam menundukkan kepalaku, tak berani menatap wajahnya. Wajah yang begitu kurindukan tapi kini membuatku muak akan kebohongannya.

“Rin, aku sungguh tersiksa menunggumu. Kamu tidak membalas SMS dan emailku, tidak juga menjawab telepoku. Aku nyaris gila menantimu Rin. Tapi sekarang kenapa kamu malah diam? Ayolah Rin, jawab.”

Aku mendongakkan kepalaku untuk menatap wajahnya, entahlah ekspresi apa yang muncul diwajahku. Tanpa kukomando, bendungan di mataku telah jebol dan membanjiri wajahku. Aku kemudian melihat dia tertegun. Perlahan aku melepaskan diri darinya.

“Ketika aku sudah mulai bergantung padamu, kenapa kamu malah seperti ini? Kalau bukan aku satu-satunya wanita dihatimu, kenapa kamu masih memaksaku untuk menjawab permintaanmu? Kenapa kamu begitu egois? Tidakkah kamu berpikir bahwa yang kamu lakukan bisa menyakiti hatiku? Sudahlah Zal, jangan tahan aku lagi. Aku lelah.”jawabku.

Rizal bukannya membiarkanku pergi, dia malah menahanku. Dia memandangku dengan sorot mata penuh tanya.

“Aku hanya mengingikanmu Airin Puspandari. Hanya kamu. Tidak ada wanita lain yang kuinginkan dalam hidupku selain kamu.”sahut Rizal menanggapi pernyataanku barusan.

“Kamu hanya menginginkanku?? Lalu siapa gadis yang kamu peluk tadi hah? Itu gadis yang sama dengan yang kulihat di food court tempo hari. Tolong jangan permainkan aku seperti ini. Aku tahu diri Zal. Aku lebih tua darimu. Kamu, seorang eksekutif muda yang tampan dan kaya raya, lebih pantas bersanding dengan wanita yang lebih muda. Bukan aku. Jadi sekarang, lepaskan aku!”teriakku mencoba untuk lepas dari genggamannya.

Rizal malah semakin mengetatkan genggamannya. Semakin lama genggamannya semakin menyakitkan. “Zal, tolong lepaskan. Sakit..”pintaku. “Tidak, sebelum kamu mendengar penjelasanku.”jawabnya. “Oke, katakan sekarang, jelaskan semuanya lalu lepaskan aku.”

Rizal menghela nafas lalu berkata, “Tidak di sini. Kita ke apartemenku saja. Tolong, kali ini turuti aku.”

Aku sudah terlalu lelah untuk melawan, kubiarkan dia menggandengku menuju apartemennya. Aku sudah tidak peduli lagi apa nanti yang akan kutemui disana. Aku sudah tak ada energi untuk memikirkan hal yang tidak-tidak.

Sesampainya di dalam apartemen Rizal, aku langsung duduk di salah satu sofa di ruang tamu. Aku lelah. Terlalu lelah untuk lari, terlalu lelah untuk sekedar menolaknya. Samar kudengar dia berbicara dengan seorang wanita. Terserahlah, aku tak peduli lagi. Saat aku tengah memejamkan mata untuk menjernihkan pikiranku, Rizal keluar bersama seorang wanita. Wanita itu adalah wanita yang kulihat tempo hari bersama dengannya. Si gadis berambut ikal. Gadis itu tersenyum ramah, lalu memperkenalkan dirinya.

“Kak Airin ya? Kenalin, aku Didi, sepupunya Rizal.”

Gadis itu tersenyum ramah, maka akupun tersenyum. Tapi tunggu, dia bilag tadi sepupu?? Apa aku tidak salah dengar? “Sepupu?”tanyaku.

“Iya, kebetulan aku lagi liburan ke Surabaya. Makanya aku mampir. Kangen sama temen-temen di sini, kebetulan Rizal kerja di Surabaya, sekalian deh reunian sama temen SMA. Kami kan dulu satu kelas.”sahutnya.

Aku lalu mengalihkan pandanganku ke arah Rizal untuk mencari pembenaran. Dia hanya menatapku datar. Rasanya tubuhku lemas seketika. Jadi beberapa hari ini aku cemburu pada sepupu Rizal? Bodohnya aku. Rizal masih menatapku, kali ini dengan tatapan menuntut. Menuntut jawaban atas perasaannya, jawaban atas penantiannya tiga hari ini. Aku sendiri kini malah bimbang. Aku mencintainya, tapi apakah aku pantas untuknya?

“Ya udah deh, kayaknya kalian berdua butuh waktu bicara berdua. Kalau gitu, aku balik ke hotel aja. Besok mau balik ke Aussie. Udah ya, gih baikan, jangan berantem lagi.”kata Didi sembari beranjak dari apartemen Rizal. Samar kudengar Rizal mengucapkan terima kasih pada Didi. Sedangkan aku terlalu terkejut dengan pernyataan Didi untuk bisa membalasnya dengan ucapan terima kasih atau apalah. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Rizal kembali duduk, kali ini dia duduk tepat dihadapanku. Dia kemudian meraih tanganku dan berkata, “Jadi, sekarang bagaimana jawabanmu Rin? Kali ini aku akan memintamu untuk jadi pendamping hidupku, sampai maut memisahkan. Bersediakah kamu Rin?”

Aku menatap Rizal, mencari sesuatu yang bisa kujadikan alasan untuk menolaknya, tapi tidak ada. Aku mencintai laki-laki ini. Sungguh. Aku ingin selalu berada di sisinya, mencintainya sampai akhir hayatku. Memiliki hatinya sepenuhnya.  Tiga hari terpisah darinya membuatku yakin bahwa hanya dia yang mampu membuatku merasa utuh. Aku kembali menatap matanya dalam. Tenggelam dalam keteduhan sorot matanya. Aku tersenyum, air mataku kembali mengalir bagaikan sungai kecil di wajahku. Aku tak mampu menjawab karena terlalu bahagia. Rizal lalu merengkuhku dalam dekapannya.

Inilah akhir pencarianku. Di Surabaya ini, kutemukan cintaku. Kusembuhkan luka hatiku dan perlahan akan kuraih kebahagiaan bersama laki-laki pilihanku ini. Bayu, Astrid, tunggulah, aku akan memiliki kasih yang sempurna seperti yang kalian miliki.